Bandar Lampung, Tentanglampung.com – Anggota Pansus Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung, Fauzi Heri, menyoroti dugaan manipulasi impor tapioka yang berpotensi merugikan petani dan industri dalam negeri. Ia mengungkapkan bahwa salah satu modus yang digunakan adalah permainan kode HS (Harmonized System) untuk menghindari tarif tinggi, serta praktik politik dumping oleh negara asal yang membuat tapioka impor dijual dengan harga murah.
“HS Code 1108.14.00 untuk tepung tapioka bisa saja dimanipulasi menjadi kode lain dengan tarif lebih rendah. Selain itu, bisa juga karena adanya politik dumping. Jika ini benar terjadi, maka kita harus mengusulkan Bea Masuk Antidumping agar harga singkong petani tidak jatuh akibat persaingan tidak sehat dengan tapioka impor,” tegas Fauzi Heri dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan perwakilan pabrik tapioka, Selasa (11/3), di DPRD Provinsi Lampung.
Fauzi menambahkan, jika impor tapioka terus meningkat drastis dan mengancam industri dalam negeri, Pansus akan merekomendasikan penerapan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2011.
“Kita bisa mengusulkan bea masuk tinggi atau tarif barrier serta menetapkan kuota impor tapioka setiap tahun. Namun, kebijakan ini harus dikaji dengan cermat karena negara-negara ASEAN memiliki perjanjian pasar bebas dengan tarif bea masuk nol,” lanjutnya.
Desakan untuk Pabrik Tapioka
Ketua Pansus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, turut mendesak pabrik tapioka di tujuh kabupaten untuk tetap melayani pembelian singkong petani. Ia menyoroti kebijakan buka-tutup pabrik yang kerap menyebabkan antrean panjang truk pengangkut singkong hingga berhari-hari, yang berimbas pada penurunan kualitas dan harga singkong.
“Jangan seperti sekarang ini, perusahaan buka-tutup, sehingga petani harus menunggu tiga hari baru bisa bongkar muatan. Kualitas singkong turun, harga ikut merosot. Jika perlu, pabrik buka 24 jam, apalagi sebentar lagi Idul Fitri, petani butuh uang untuk lebaran,” ujarnya.
Namun, perwakilan PT Muarajaya R. Harun Nurdin mengungkapkan bahwa pabrik kesulitan menyerap singkong petani dalam jumlah besar karena harga tapioka impor jauh lebih murah dibanding harga yang telah ditetapkan Kementerian Pertanian, yakni Rp1.350 per kilogram.
“Kami sepakat agar pemerintah segera memberlakukan larangan dan pembatasan impor tapioka serta bahan penggantinya. Ini demi menjaga harga singkong tetap stabil bagi petani,” jelasnya.
Pembentukan Asosiasi Pabrik Tapioka
Sebagai langkah strategis, Fauzi Heri menjelaskan bahwa Pansus Tata Niaga Singkong mendorong pembentukan asosiasi pabrik tapioka di Lampung. Lima perwakilan pabrik telah ditunjuk sebagai tim formatur untuk menyusun struktur organisasi asosiasi tersebut. Asosiasi ini direncanakan menjadi wadah bagi para pengusaha tapioka untuk berkoordinasi dan menyampaikan aspirasi mereka.
Dengan adanya asosiasi, diharapkan pemerintah memiliki data akurat terkait kapasitas produksi dalam negeri sehingga kebijakan impor bisa lebih tepat sasaran.
“Selama ini asosiasi pabrik produsen tapioka tidak berjalan, sehingga pemerintah kesulitan mendapatkan informasi akurat terkait jumlah produksi dalam negeri. Ini harus kita perbaiki agar kebijakan yang diambil benar-benar melindungi petani dan industri lokal,” pungkas Fauzi Heri.(Red)