Opini : M. Faizzi Ardhitara – Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Lampung
Bandar Lampung, Tentanglampung.com – Kota Bandar Lampung tengah menghadapi bencana banjir besar yang merendam ribuan rumah, menelan korban jiwa, dan memaksa banyak warga mengungsi. Namun, tak hanya bencana ekologis yang menimpa kota ini—warga juga harus menghadapi bencana lain: pembungkaman suara mereka.
Di tengah genangan air dan duka, masyarakat melakukan satu hal yang menjadi hak dasar mereka sebagai warga negara: bertanya, “Mengapa ini terus terjadi?” Alih-alih dijawab dengan empati atau solusi, mereka justru disambut oleh intimidasi. Sebuah video yang viral di media sosial memperlihatkan beberapa warga yang mengkritik pemerintah kota atas buruknya penanganan banjir, diseret oleh Satpol PP. Ini adalah bentuk nyata pembungkaman.
Pertanyaannya: sejak kapan mengkritik kebijakan publik dianggap sebagai pelanggaran?
Bandar Lampung bukan milik satu orang, bukan pula panggung tunggal bagi pemimpinnya. Kota ini adalah rumah bagi jutaan orang yang berhak bersuara, terlebih saat kehidupan mereka terdampak secara langsung. Namun, sang wali kota tampak lupa bahwa jabatan bukanlah tahta. Ia dipilih rakyat, digaji rakyat, dan harus bertanggung jawab kepada rakyat.
Menurut Walhi Lampung, banjir di Bandar Lampung bukanlah bencana alam semata, melainkan bencana ekologis yang lahir dari salah kelola tata ruang dan pengabaian terhadap ruang hijau. Sayangnya, warga yang menyuarakan hal ini justru dituding membuat keributan. Mereka yang mencoba menyampaikan aspirasi di kantor wali kota malah dibubarkan secara paksa.
Padahal, Pasal 28E UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ini bukan sekadar teks konstitusi—ini adalah ruh demokrasi.
Penggunaan kekuatan Satpol PP terhadap warga adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang tidak hanya tidak etis, tetapi juga mencederai demokrasi. Tindakan ini mencerminkan ketakutan. Hanya mereka yang merasa legitimasi kekuasaannya rapuh yang akan membungkam suara rakyatnya sendiri.
Apakah Wali Kota Eva Dwiana tidak sadar bahwa kritik adalah bentuk kepedulian? Warga tak ingin menggulingkan kekuasaan—mereka hanya ingin rumah mereka tak lagi kebanjiran, anak-anak mereka bisa tidur dengan tenang, dan masa depan mereka tak terendam air kotor setiap musim hujan tiba.
Yang lebih menyedihkan, aparat yang seharusnya mengayomi kini menjadi alat represi. Mereka lupa bahwa warga yang mereka dorong dan gertak adalah pembayar pajak—mereka yang menggaji para pejabat dan aparatur negara.
Jika kritik dianggap sebagai serangan, jika suara warga dibungkam, dan jika pemimpin berlindung di balik tembok kekuasaan, maka yang terjadi adalah kemunduran demokrasi.
Kritik bukan untuk dibungkam dengan pentungan, melainkan dijawab dengan tindakan: perbaikan drainase, restorasi ruang hijau, dan keterbukaan terhadap partisipasi publik. Yang paling utama: pemimpin harus bersedia mendengar.
Kita tidak butuh pemimpin yang merasa selalu benar. Kita butuh pemimpin yang mampu mengakui kekeliruan dan memperbaikinya. Kita tidak butuh birokrasi yang gemar menakut-nakuti, tetapi yang bersedia melayani.
Banjir mungkin akan kembali tahun depan. Tapi luka karena dibungkam akan tinggal jauh lebih lama dari genangan air. Semoga Wali Kota Eva Dwiana sadar, bahwa ia dipilih bukan untuk berkuasa, tapi untuk melayani.
Dan semoga kita, sebagai warga, tak pernah lelah bersuara. Karena diam adalah awal dari kekalahan.(Red)