Bandar Lampung, Tentanglampung.com – Banjir kembali melanda Kota Bandar Lampung, menelan korban jiwa dan memaksa ribuan warga mengungsi. Tiga orang dilaporkan meninggal dunia di Kecamatan Panjang pada April 2025, menjadikan peristiwa ini sebagai peringatan serius atas kegagalan tata kelola ruang dan infrastruktur kota.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung mencatat, sepanjang 2024 telah terjadi 11 banjir besar di wilayah Kota Bandar Lampung. Memasuki 2025, banjir besar kembali terjadi di dua wilayah pada Januari, dan hingga April, tiga kawasan terdampak parah adalah Kampung Bayur, Labuhanratu, dan Tanjungsenang.
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Lampung, M. Faizzi Ardhitara, menyebut banjir ini bukan semata akibat curah hujan tinggi, melainkan cerminan dari kerusakan struktural yang dibiarkan selama bertahun-tahun.
“Drainase kota tak pernah diperbarui sejak 1980-an. Pemerintah mengetahui akar masalah—alih fungsi lahan, sistem drainase buruk, dan lemahnya pengelolaan sampah—tetapi tidak ada tindakan nyata. Ini bentuk nyata pengabaian,” ujarnya, Senin (21/4/2025).
Laporan WALHI Lampung mengungkapkan, 70% saluran drainase di kota ini sudah tersumbat dan tak mampu lagi menampung limpasan air. Sayangnya, belum ada langkah sistematis pemerintah untuk memodernisasi infrastruktur tersebut. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru disebut lebih berpihak pada kepentingan pengembang ketimbang keselamatan warga.
“Lebih dari 420 hektare lahan resapan dikonversi menjadi kawasan permukiman dan bisnis dalam satu dekade terakhir. Ini melanggar UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,” tambah Ardhitara.

Manager Advokasi Mitra Bentala, Mashabi, menyebut penanganan banjir hanya sebatas retorika. “Peraturan Wali Kota soal banjir hanya menjadi dokumen tanpa implementasi. Drainase di kawasan seperti Rajabasa, Sukarame, dan Kedamaian tidak pernah dibersihkan sejak dibangun,” ujarnya.
Sementara itu, studi Balai Wilayah Sungai Mesuji Sekampung tahun 2023 menunjukkan bahwa sungai-sungai utama seperti Way Lunik, Way Keteguhan, dan Way Kandis mengalami penyempitan hingga 40% serta pendangkalan lebih dari 1,5 meter akibat sedimentasi dan bangunan liar.
Ironisnya, proyek normalisasi yang diharapkan menyelamatkan ekosistem sungai justru dilakukan tanpa kajian ilmiah yang matang. Banyak proyek dikerjakan secara instan dan berorientasi pada proyek kontraktor.
Di sisi lain, perilaku warga yang kerap disalahkan karena membuang sampah sembarangan ternyata berakar dari minimnya fasilitas pengelolaan sampah. Riset Universitas Lampung (2022) menyebut, 65% warga Kota Bandar Lampung tidak memiliki akses terhadap sistem pengelolaan sampah yang layak.
“Warga bukan tidak peduli, tapi tidak diberi alternatif. Negara seharusnya hadir sebagai penyedia solusi, bukan sekadar pemberi sanksi,” tegas Ardhitara.
Sebagai solusi konkret, IWO Lampung mendorong enam langkah strategis untuk keluar dari krisis ini:
- Audit dan Desain Ulang Drainase berbasis risiko bersama perguruan tinggi dan konsultan independen.
- Moratorium Izin Bangunan di zona resapan, termasuk revisi RTRW yang pro-lingkungan.
- Penegakan Hukum terhadap pelanggaran tata ruang, termasuk pembongkaran bangunan ilegal.
- Restorasi Sungai dengan pendekatan ilmiah dan partisipasi masyarakat.
- Integrasi Pendidikan Lingkungan ke dalam kurikulum sekolah dan program komunitas.
- Transparansi Anggaran dan Mekanisme Pelaporan Publik berbasis daring untuk proyek lingkungan.
“Kota ini menuju kehancuran ekologis jika kebijakan tak segera diubah. Kita butuh pemimpin yang berani, bukan hanya piawai membuat siaran pers saat banjir datang,” pungkas Ardhitara.(Red)